Menerapkan Budaya Literasi Dalam Keluarga

Oleh Ilham Ramadhan Nur Ahmad*
Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara tentang
permasalahan minat membaca. Ini artinya, Indonesia persis berada di
bawah Thailand dengan peringkat 59 dan di atas Bostwana dengan peringkat
61. Jika dilihat, seharusnya Indonesia patut malu terhadap
negara-negara tetangganya seperti Malaysia dan Singapura yang dapat
meningkatkan budaya literasi di negara mereka sehingga mereka menjadi
negara maju di kawasan Asia Tenggara. Padahal, Indonesia dari segi
penilaian infrastruktur untuk mendukung budaya literasi tersebut di atas
rata-rata dari negara Eropa (“Most Littered Nation in the World”.
Central Connecticut State University, 2016)
Pada dasarnya, minat untuk meningkatkan budaya literasi di bangsa ini
sangatlah memperihatinkan. Menurut UNOSECO (2012), hanya 0.001% minat
baca di negeri ini. Artinya dari seribu orang Indonesia, hanya ada satu
orang yang memiliki minat membaca yang tinggi. Hal ini sangat ini
memprihatinkan karena mengingat buku adalah jendela dunia, dengan
membaca kita akan bisa mengubah dunia. Dengan maksud, apabila seseorang
membaca tanpa mempunyai kemauan yang tinggi maka orang tersebut tidak
akan membaca dengan serius dan sepenuh hati. Apabila seseorang membaca
atas kemauan atau kehendaknya sendiri maka orang tersebut akan membaca
dengan sepenuh hari.
Di era revolusi industry 4.0, dunia tidak hanya menuntut untuk melek teknologi tetapi juga update
terhadap informasi. Indonesia memiliki tantangan yang sangat besar
untuk menghadapi era ini. Maka dari itu, mengingat pentingnya budaya
literasi bagi bangsa, sudah seharusnya budaya literasi ini dikembangkan
dari lingkungan terkecil yaitu keluarga. Berdasarkan prinsip yang telah
dinyatakan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa dalam tripusat pendidikan
terdapat tiga pihak yang sangat mempengaruhi budaya literasi yaitu,
keluarga, sekolah, dan masyarakat. Hal ini karena keluarga merupakan
salah satu miniatur pendidikan utama dalam merangsang pola perkembangan
anak dalam aspek apa pun.
Pertama adalah aspek fisik
Memasuki usia remaja, anak memasuki masa pubertas yang ditandai
dengan adanya perubahan tubuh, namun organ seksualnya belum berfungsi, faktor
hormonal, mengubah tubuh, bertambah besar dan tinggi, emosional, sensitif,
sosialnya berubah. Orang tua perlu memastikan bahwa dari sisi fisik, anaknya
dapat tumbuh dengan baik.
Kedua, aspek kognitif
Pada perkembangan ini, orang tua harus memahami kecerdasan pada
menstimulasi sesuai tahapan. Mulai dari memfasilitasi kebutuhan eksplorasi,
mengajak diskusi, memberi kesempatan berpendapat dan tidak memaksakan di luar
kemampuan kognitifnya.
Ketiga, aspek emosional
Pada tahapan ini, kesadaran diri, motivasi diri, empati dan
keterampilan sosial harus dimiliki oleh setiap orang tua, karena orang
tua harus memberikan awareness tentang ekspresi emosi,
memotivasi untuk berekspresi secara baik, memberikan contoh pengendalian
diri, mengapresiasi perilaku empati, dan mempraktikkan berinteraksi
sosial dengan baik.
Keempat, aspek sosial
Pada aspek ini orang tua harus memosisikan selalu hadir ketika
dibutuhkan, memberikan apresiasi atau usaha yang dilakukan, mendukung
untuk berkreasi dan berproduktif, mengenali kelebihan dan kekurangan
diri dan menjadi contoh cara berinteraksi dengan orang lain.
Kelima, aspek moral
Anak harus diberikan pemahaman bahwa aturan dan hukum, pentingnya
konsisten menerapkan norma dan moral, pengenalan magic word dan tanamkan kepercayaan. Supaya mereka mengerti bahwa
pentingnya aspek moral.
Keenam, aspek psikoseksual
Pada diri mereka harus ada ditanamkan budaya malu, menggunakan
istilah netral, mengajarkan tentang privasi, mengenalkan kondisi darurat dan
cara menghadapinya. Lalu, memberikan pemahaman atau pendidikan tentang seksual.
Keenam aspek ini harus dilakukan secara konsisten. Anak harus
dipahami secara benar sehingga karakternya menjadi pribadi yang baik.
Perkembangan pola pikir dan perilaku mereka harus disiapkan dengan tepat
dan matang.
Dengan asumsi bahwa orang tua adalah guru pertama bagi anak-anak.
Dikarenakan adanya budaya literasi dalam keluarga, berguna untuk
menumbuhkembangkan karakter anak dalam menghadapi kehidupan sesuai
dengan masanya.
Bagaimana orang tua menyikapi dunia teknologi dalam literasi?
Dengan cepatnya perkembangan teknologi di era sekarang ini dapat
menguasai dalam kehidupan anak-anak, terutama untuk tumbuh kembangnya
pendidikan anak. Sebagian orang tua berpikir bahwa teknologi, jika
diberikan kepada anak dapat membuat anak menjadi tenang. Namun,
teknologi ini bahwasannya memiliki kekurangan bagi si anak. Anak akan
lebih sulit untuk diatur dan akan memiliki sifat timbal balik dalam
waktu jangka panjang.
Menyadari arti
penting dalam pembentukan budaya literasi, sudah seharusnya kesadaran budaya
literasi mengalir ke setiap keluarga sebagai unsur utama dalam hal mendidik
anak dan unsur mayarakat dan bangsa. Supaya anak dapat tumbuh sesuai dengan
perannya. Karena anak-anak dalam satu hari menghabiskan waktu sekitar 6-8 jam
di sekolah. Sisa waktunya adalah ketika mereka berkumpul dan berinteraksi
dengan keluarga dan masyarakat.
Kegiatan literasi dalam keluarga dapat dilakukan dengan berbagai
macam ragam. Hal ini dapat diawali dari inisiatif orang tua dalam
menyisihkan waktunya untuk keluarganya untuk dapat berkomunikasi
efektif. Komunikasi efektif ini merupakan cara orang tua memberikan
arahan kepada anak dan anak menyampaikan gagasan kepada orang tua dalam
suasana yang nyaman dan saling memahami. Komunikasi akan efektif apabila
orang tua atau anak bersedia mendengarkan dan menyampaikan pesan untuk
tujuan mencapai tujuan komunikasi. Menurut Ki Hajar
Dewantara, anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratya sendiri. Pendidik
hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat tersebut. Jadi, orang
tua tidak dapat memaksa kodratnya anak, karena setiap anak memiliki
kodratnya masing-masing yang tumbuh seiring jalannnya waktu.
Orang tua harus dituntut untuk berkomunikasi dengan anak secara baik,
supaya anak-anak mudah untuk menuangkan apa yang ada di pikiran mereka
kepada orang tuanya. Sehingga, orang tua dapat mengetahui mindset
anak dan dapat menumbuhkembangkan anak tersebut dengan kodratnya.
Keterampilan yang harus dimiliki oleh setiap orang tua antara lain:
Keterampilan berempati, menyimak, bertanya, bercerita, dan umpan balik.
Menurut saya, orang tua yang telah memiliki tingkat pendidikan yang
lebih tinggi tidak hanya memiliki tanggung jawab menjadi warga negara
yang produktif saja, melainkan orang tua memiliki peran yang sangat
penting untuk memberikan kesempatan belajar yang lebih luas dalam
mengembangkan kemampuan berkomunikasi kepada anak-anak, dikarenakan
anak-anak mempelajari perilaku positif dan nilai-nilai melalui
komunikasi dengan orang dewasa di sekitarnya, khususnya orang tua.
Kondisi ini juga sangat berpengaruh untuk masa depan anak.
Untuk mendukung hal tersebut diperlukannya layanan yang bertujuan
untuk membuat perubahan berkelanjutan dalam keluarga dengan
mengintegrasikan semua kegiatan seperti pendidikan orang dewasa,
dirancang untuk memperluas tingkatan akademis dasar, berpikir kritis dan
kreatif, serta memecahkan masalah. Pendidikan anak usia dini, dirancang
untuk mempromosikan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak mereka untuk
mendorong keterlibatan bermakna yang akan dipertahankan sepanjang
karier pendidikan anak. Parent education, dirancang untuk membimbing bagaimana anak tumbuh, berkembang dan belajar.[]
Editor : Ihan Nurdin
No comments